Sunday, September 30, 2012

Berdamai dengan Cerdas: Cerdas atau Bebal?

(Amsal 17: 14-28)

Ayat 14 dan 19 bisa diasumsikan memutar di satu tema: bertengkar. Idenya sederhana: Jangan memulai pertengkaran, nanti imbasnya tak ketulungan. Jangan cari gara-gara deh...! Caranya? Waspadai awal segala yang memungkinkan terjadinya masalah dengan memindai kemungkinan akibat buruk yang menyertainya: “Siapa yang memewahkan pintunya mencari kehancuran.”

Alih-alih waspada, ada lho orang yang memang menyukai pertengkaran,senengane rame-seneng gegeran... Nah bagi pengamsal, orang yang senengane rame-seneng gegeran ternyata bermuara bukan sekedar pada soal selera (seneng), namun pada hal moral: “suka pelanggaran.”

Ayat 15, 20, 23, dan 26 bisa dianggap sebagai nasihat perlunya ketepatan, kepantasan dalam penilaian, pembelaan dan perlakuan terhadap orang. Bila berlawanan, maka ini adalah suatu keserongan, ketidakpasan, ketidaktepatan, keliru: orang fasik (malah) dibenarkan, orang benar dipersalahkan (15); orang benar didenda, orang muliadipukul (26). Amsal membawa pesan untuk mengingatkan bahwasanya ketepatan atau keserongan ini merujuk pada masalah ilahiah: ”kekejian bagi TUHAN.” Di sini kembali terulang penekanan atmosfer batin dari amsal.

Ayat 16, 18, 21, 24, 25  berkisar pada nasib orang yang bebal dan tak berakal budi dan nasib dari orang yang intensif berurusan dengan si bebal tadi. Orang sejenis ini menurut Amsal sekalipun ber-uang toh tak akan dapat membeli kebijaksanaan dengan uangnya (ay 24). Ayat 27 dan 28 menunjukkan gesture dan sikap batin dari orang yang berpengetahuan dan berpengertian, yakni: menahan perkataan dan berkepala dingin. Agaknya penggarisbawahan karakteristik ini dimaksudkan untuk (a) sebagai kontras terhadap si bodoh; dan (b) sebaliknya, dapat menghadirkan terciptanya impresi yang mendatangkan point  bagi si bodoh itu. Ayat 17 dan 22. Dalam sekian kumpulan amsal yang bertema gloomy ada juga bagian-bagian yang cerah-hangat; Selain digenangi oleh rujukan tentang “jenis” orang  rupanya ada pula amsal yang beratmosfer interior batin.

Mungkin tak ada ruginya berefleksi: Bagaimana hati ayah dan bunda bisa gembira kalau anaknya bebal? Kebodohan naradidik bisa mengeringkan tulang alias mematahkan semangat para pendidik.

Jadi bagaimana? Bukankah yang bodoh dalam hal ini semestinya sadar akan adanya efek psiko-sosial yang dihadirkan oleh kebodohannya bagi pihak-pihak lain yang mencintai dan mengasuh mereka? Ini soal integrasi dari apa yang manusiawi dan ilahi, sekuler dan religius, yang personal dan sosial, soal diri sendiri dan sekaligus soal dunia ini, ini juga soal relasi pikiran dan perasaan (hati gembira, hati sedih). Amin. (oleh Bp. Eddy SS)

Sunday, September 16, 2012

Semua Mahluk Hidup Berdampingan Harmonis


(Yesaya 11:1-10)

Jauh dilubuk hati sanubari semua orang pasti terdapat kerinduan sebuah dunia tanpa perang, tanpa pembunuhan, tanpa kompetisi, tanpa kerakusan  ataupun kelaparan. Dunia dimana segenap umat manusia hidup dalam damai dan harmoni satu dengan yang lain; berbagai dunia yang memang Cuma satu untuk semua.
Kerinduan akan damai itulah yang digumulkan oleh nabi Yesaya yg hidup di zaman ketika bangsa Israel harus mengalami perang demi perang silih berganti. Yesaya merindukan sebuah suasana dimana “serigala akan tinggal bersama domba, Macan tutul akan berbaring di samping anak kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama dan seorang anak kecil akan menggiringnya dst.” (Yesaya 11: 6-9). Inilah sebuah simbolis tentang kedamaian.
Melihat zaman kita sekarang ini, rasanya kedamaian itu sangat jauh dari kehidupan kita. Orang sungkan naik angkutan umum karena takkut dirampok atau diperkosa, orang takut berjalan sendirian karena ancaman pembunuhan dsb. Lihat saja secara skala nasional beberapa personal yang disinyalir terlibat teroris ditangkap oleh Densus 88 satu per satu, penembakan polisi di Solo, ledakan bom di Depok, penangkapan para perampok, geng motor dsb. Sepertinya hati kita tak pernah “tenang alias selalu khuatir/was-was” baik ketika kita berbaring, duduk, berjalan atau bekerja. Skala International; kita mendengar pembunuhan konsulat AS di Libya, profokasi SARA secara international melalui pembuatan Film yang menghina saudara kita muslim, sehingga memunculkan protes dan demonstrasi di Timur Tengah.
Apakah yang harus kita kerjakan? Mari semua bersama-sama memulai etika damai itu dari diri sendiri. Setiap orang bertanggungjawab untuk menggunakan apapun secara proposional (sesuai kebutuhan). Setiap orang bertanggungjawab memelihara apapun secara maksimal. Setiap orang harus menahan diri pada setiap perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Secara sadar mulailah hidup sehat; membuang sampah pada tempatnya, menggunakan air secukupnya, dan yang tidak kalah penting adalah mendoakan setiap pemimpin di dunia ini agar Tuhan beri hikmat untuk menjalankan tugasnya dengan adil, damai dan penuh hikmat. Mari kita mulai sejak sekarang ini. Tuhan berkati kita semua. Amin

Sunday, September 9, 2012

Berdamai dengan Bijak


(Amsal 15:1-5)

“Berdamai dengan Bijak” adalah membangun kehidupan yang bermartabat yang dipenuhi dengan kasih, tatanan sopan, dan berkeadilan.  Ayat 1-4 berbicara tentang lidah manusia yang mengeluarkan perkataan dan mata Allah yang melakukan pengawasan. Lidah adalah alat bicara yang sangat penting. Dengan lidah orang dapat membangun kerukunan. Sebaliknya dengan lidah orang dapat terlibat dalam pertengkaran yang hebat. Amsal ini juga ingin mengatakan bahwa spirit yang membangun kekuatan lidah sangatlah menentukan. Jika di dalam dirinya seseorang memiliki spirit hati bijak, maka lidah dapat terkontrol dan mengeluarkan kata-kata yang lembut, sopan dan membangun martabat. Sebaliknya, jika kekuatan hati manusia dilingkupi dengan kebebalan dan kebodohan, maka lidah menjadi alat pertengkaran yang hebat.
Amsal ingin mengajarkan tentang pentingnya kesadaran hidup untuk membangun hati yang bijak dengan mengingatkan bahwa apa yang kita lakukan tidak lepas dari pandangan mata Allah. Kata “lemah lembut” menjadi simbol bagi orang yang bijak dan memiliki pengetahuan tentang kehidupan. Di lain pihak, orang yang bebal memiliki kecenderungan untuk merusak.
Selamat membangun perdamaian dengan bijak dalam kehidupan kita. Ingatlah, tidak ada yang sia-sia jika manusia dalam hidupnya terus mengusahakan perdamaian dengan sesamanya. Yesus sendiri yang mengajarkan, “Berbahagialah orang yang membawa damai karena mereka akan disebut sebagai anak-anak Allah.”

Sunday, September 2, 2012

Berdamai dengan Murah Hati


(Amsal 3:27-35)

Amsal 3:27-35 memberikan nasihat bijak tentang kemurahan hati. Yang menarik, subyek yang harus ditolong disebutkan dalam perikop ini sebagai “orang-orang yang berhak menerimanya” (ay 27). Versi BIS (Bahasa Indonesia Sehari-hari) menerjemahkannya sebagai “orang yang memerlukan.” Terjemahan versi BIS ini sangat tepat, sebab seringkali kita memang berhadapan dengan orang-orang yang kita pandang tidak berhak menerima pertolongan kita (misalnya, orang-orang yang memusuhi kita dan berbuat jahat kepada kita). Namun nasihat bijak dalam Amsal ini tidak memakai hal tersebut sebagai tolok ukur untuk memberi pertolongan atau tidak. Meskipun orang tersebut mungkin memang tidak berhak menerima pertolongan kita karena telah melakukan sesu atu yang jahat kepada diri kita, tapi jika ia membutuhkan pertolongan, maka kita harus menolongnya. Jadi tolok ukurnya bukan berhak atau tidak berhak, melainkan memerlukan atau tidak memerlukan. Jika kita diperhadapkan kepada orang yang memerlukan pertolongan, nasihat Amsal sangat jelas: kita harus segera menolongnya, bahkan sekalipun ia mungkin sebenarnya tidak berhak atas pertolongan kita. Prinsip ini ditekankan lebih lanjut dalam ayat 27 ketika dikatakan, “Janganlah menahan kebaikan ...” Versi BIS menyebutkan, “Jika kau mempunyai kemampuan untuk berbuat baik ...” Yang dilarang oleh Amsal adalah sikap seseorang yang sebenarnya mempunyai kemampuan untuk berbuat baik, tapi memilih untuk tidak melakukan perbuatan baik tersebut.
Di tengah-tengah situasi semacam itu, Amsal 3:27-35 mengingatkan kita agar kita bermurah hati untuk memberikan pertolongan kepada siapa saja, di mana saja, dankapan saja yang membutuhkan pertolongan. Amsal juga mengingatkan kita bahwa kita tidak perlu melakukan berbagai macam analisis yang rumit untuk menentukan apakah kita akan menolong orang tersebut atau tidak. Nasihat bijak dalam Amsal ini mengatakan kepada kita bahwa kapan pun, di mana pun, dan dengan siapa pun kita berhadapan, jika kita melihat seseorang membutuhkan pertolongan kita, tanggapan yang benar adalah langsung memberi pertolongan.
Kita juga diingatkan untuk tidak menunda-nunda pertolongan tersebut. Firman Tuhan dengan jelas mengatakan, “Janganlah engkau berkata kepada sesamamu: “Pergilah dan kembalilah, besok akan  kuberi,” sedangkan yang diminta ada padamu” (ay 28). Yang dibutuhkan hanya satu, yaitu kemauan dan tekad di dalam hati kita untuk segera memberikan pertolongan ketika kita berjumpa dengan orang yang memerlukan pertolongan, dan kita memang mempunyai kemampuan untuk menolong. Amin