Sunday, July 29, 2012

Menuju Puncak


(Kejadian 41:37-45)     
       
Bila kita hendak mendaki gunung tentu diperlukan persiapan yang matang, seperti misalnya: kondisi fisik yang baik/sehat, memperhatikan cuaca/keadaan, perlu membawa bekal dan perlengkapan kesehatan/obat-obatan.            Ketika kami di Salatiga, pernah mendaki gunung Merbabu dan berjalan kaki, karena jalan berbatu, belum diratakan seperti sekarang. Jadi ketika kami mendaki untuk dapat sampai ke puncak harus ada persiapan dan kesiapan mental, usaha dan perjuangan.            

Demikian Yusuf, sebelum sampai ke puncak melewati ujian dan tantangan, mulai dari keluarga, orang-orang di sekitarnya dan juga tantangan lainnya. Namun Yusuf  ini  anak yang dikasihi oleh orangtuanya, karena inilah saudara-saudaranya merasa iri, sampai-sampai ia dijual oleh saudara-saudaranya ke Mesir. Tetapi Tuhan menggagalkan usaha mereka. Di kemudian hari Yusuf menjadi orang yang berhasil, namun dia tidak sombong, dan lupa diri. Ia tetap bersyukur kepada Tuhan.            

Satu kisah yang tragis menimpa dirinya, ketika istri tuannya tertarik tidur dengan Yusuf, namun Yusuf menolak (Kej. 39:12-18). Itulah yang membawanya ke dalam penjara. Kisah perjalanan begitu cepat. Ketika Firaun bermimpi dan tak ada satupun di seluruh jagat yang bisa memberi tafsiran yang tepat, kecuali Yusuf. Momen inilah yang membawanya terangkat menjadi pemimpin dan penguasa istana.           

Menjadi orang yang berada di puncak tidaklah mudah. Tetapi harus melalui proses, perjuangan yang panjang dan tidak lepas dari jalan Tuhan, apabila menyimpang pastilah akan terpuruk dan jatuh. Untuk itu belajarlah dari Yusuf, dengan berbagai tantangan rintangan akhirnya sampai ke puncak dan menikmati kebahagiaan. Tuhan memberkati. (Pdt. Em. Paul Bambang. S)

Sunday, July 22, 2012

Belajar dari Priskilla dan Akwila


(Lukas 2:52)

Gereja dibentuk oleh komunitas keluarga. Dalam Perjanjian Baru terdapat sebuah keluarga Kristen yang sangat militan dalam pelayanan kepada Kristus. Keluarga tersebut terdiri dari sepasang suami-istri. Mereka adalah Akwilla dan Priskila. Akwila adalah seorang laki-laki Yahudi dari Pontus. Ia bersama dengan istrinya Priskila mengungsi dari Roma  menuju Korintus untuk menghindari pengejaran terhadap orang-orang Yahudi di bawah pemerintahan Claudius. Keluarga mereka bisa dijadikan sebagai model keluarga yang sangat cinta Tuhan dan mendukung perkembangan jemaat Kristen di tempat mereka berada.   
1.        Keluarga Yang Melayani Secara Total . Melayani secara total merupakan komitmen Priskila dan Akwila yang perlu diteladani oleh setiap  keluargakeluarga gereja masa kini. Komitmen tersebut dijiwai oleh sikap rela berkorban, ketaatan, kerendahhatian, dan kecintaan yang sangat mendalam kepada Tuhan. Dalam banyak kesaksian menunjukkan bahwa Tuhan sangat memberkati keluarga-keluarga umat percaya yang dengan rela melayanigggd54tgfhnfdaerahnya untuk tinggal di rumahnya. Tuhan senantiasa memberikan kebahagiaan keluarga, damai sejahtera, sukacita, dan kecukupan hidup.
2.        Keluarga yang Bersaksi. Luar biasa, keluarga Priskila dan Akwila sungguh keluarga yang militan. Mereka gemar dan rajin bersaksi tentang Tuhan beserta dengan ajaran-Nya. Mereka ingin orang lain mengenal Jalan Tuhan lebih mendalam, sehingga orang lain juga dapat merasakan Jalan Tuhan itu dan terlebih lagi mewartakannya di dalam kehidupannya sehari-hari. Terbukti memang, pemahaman Apolos yang mendalam tentang Jalan Tuhan ditambah pengalamannya mengenai Kitab Suci berguna bagi pekabaran Injil di Akhaya. Ia mampu memberikan pemahaman dengan baik kepada orang-orang Yahudi di Akhaya berdasarkan Kitab Suci bahwa Yesus adalah Mesias (ay 28).
Tidak bisa tidak bahwa gereja yang merindukan perkembangan pelayanan yang maksimal harus memfokuskan pelayanan kepada keluarga. Gereja perlu meneladani keluarga Priskila dan Akwila di dalam melayani Tuhan. Keluarga Priskila dan Akwila mempunyai semangat pelayanan yang total. Selain itu mereka gemar menyaksikan cinta kasih Tuhan.

Sunday, July 15, 2012

Estetika Alam, Pujian bagi Sang Kekasih


(Kidung Agung 7:10-13)

            Pujian yang tulus, murni dan tidak manipulatif memiliki kekuatan dahsyat untuk mengubah relasi orang. Sangat berbeda dengan pujian yang manis di mulut namun pahit di hati. Pujian ini mengandung ketidakmurnian  dari pihak si pemuji.  Hal ini dapat mendatangkan kekeliruan pada si terpuji. Pujian yang tak tulus sering difungsikan sebagai alat untuk mencapai keinginan tertentu bagi si pemuji dalam rangka memanipulasi sesuatu. Sebaliknya pujian yang tulus berfungsi mengapresiasi si terpuji secara layak dan sejujur-jujurnya. Akibatnya, si terpuji terteguhkan dalam syukur tiada henti dan merasa dihargai.
            Para kekasih dalam drama Kidung Agung adalah sebuah ekspresi cinta yang disebutkan dalam bentuk puisi cinta. Dalam bahasa Ibrani cinta adalah ahaba, dan kata ini terkandung semua dimensi cinta yang meliputi aspek religius, seksual, fraternal dan domestik. Tentu sangat berbeda dengan cinta dalam bahasa Yunani yang dibagi menjadi 4 : agape, fillia, eros, dan storge.
            Ekspresi ahaba dalam Kidung Agung memakai bahasa metafora dengan media dunia tumbuhan. Sang kekasih memakai dunia flora ini untuk mengatakan kedalaman cintanya kepada kekasihnya. Mulai dari bagaimana cinta itu bertumbuh, bersemi dan akhirnya menikmati sebuah keindahan dan keharuman seperti  indahnya bunga pacar, indahnya kebun anggur dan kebun delima. Sungguh romantis sekali.
            Dalam bulan keluarga ini, hendaklah kita ekspresikan bahasa cinta kita kepada semua orang yang ada disekitar kita; dimulai dari keluarga (ayah, ibu dan anak), kemudian menjalar kepada lingkungan masyarakat kita (tetangga, kerabat, teman dsb), dan dikerjakan pula dalam gereja. Ekspresikan bahasa cinta itu dalam bentuk; kata-kata, tenaga, pikiran, atau materi. Semoga hari-hari kita dipenuhi oleh damai, cinta, kebahagiaan, dan keindahan. Semoga rumah tangga kita menjadi bak kebun buah-buahan, indah, segar, wangi, dan menggairahkan. Amin (Almanak Sinode GKMI)

Sunday, July 8, 2012

Belajar Berbagi Kehidupan dari Janda Sarfat


(1Raja-raja 17:7-24)

Kita dapat membayangkan betapa tidak mudahnya kehidupan janda Sarfat pada waktu itu. Ia hidup  dalam situasi yang sulit, kekeringan, sementara bahan makanannya sudah tinggal penghabisan untuk dimakan terakhir kalinya. Di titik kritis inilah janda Sarfat bertemu dengan Nabi Elia, yang mungkin belum dikenalinya sebagai abdi Allah. Nabi Elia meminta darinya tidak sekadar minum, tapi juga roti, padahal bahan untuk membuat roti hanya cukup untuk dirinya dan anaknya saja, cukup untuk sekali makan dan kemudian mati (ay 12).
Janda tersebut tetap memiliki hati yang berbelas kasihan dan mau menolong nabi Elia yang kelaparan. Dengan penuh iman diberikannya makanan buatnya untuk sang nabi. Dengan imannya perempuan ini mau menukar hal yang pasti (bahan makanan yang terukur hanya cukup untuk sekali makan) dengan hal yang tidak kelihatan (firman Tuhan yang disampaikan Nabi Elia, yang belum terjadi).Sebuah tindakan iman.
Janda Sarfat menaruh kepercayaannya hanya pada janji firman Allah. Sebuah ketangguhan hidup yang luar biasa. Barangkali janda tersebut bisa berpikir, kalau toh aku dan anakku harus mati karena kelaparan ini, tapi toh di hari terakhirku aku mau memberikan makananku agar Nabi Elia tidak mati. Seperti cinta seorang ibu yang rela berkorban demi kesuksesan anaknya. Seorang yang kalau harus mati, namun mati dengan penuh makna, karena bermanfaat bagi sesama.
Ketangguhan dan iman janda tersebut membuatnya mendapatkan makanan untuk beberapa waktu lamanya. Artinya, ia mendapatkan makanan setiap hari. Tiap-tiap hari tepung segenggam di tempayan dan sedikit minyak di buli-buli senantiasa ada untuknya membuat makanan hari demi hari. Tuhan menjawab kebutuhan dan kesusahan janda Sarfat ini. Mukjizat terjadi setiap hari, dimulai dari kesediaan hati janda Sarfat berbagi “kehidupan” lewat segenggam tepung dan sedikit minyak, dan keberaniannya beriman kepada janji pertolongan Allah melalui seorang abdi Allah.
Bagaimana dengan kesulitan hidup yang kita alami dalam kehidupan keluarga kita? Seringkali kita  menempatkan diri kita sebagai orang yang membutuhkan pertolongan. Saat kesulitan hidup mendera, pikiran kita hanya sibuk untuk memikirkan kesulitan diri kita sendiri. Tidak ada tempat bagi sesama kita, apalagi sesama yang kekurangan dan butuh uluran tangan kita. Hidup sendiri saja susah,boroboro memikirkan orang lain. Barangkali ini kata-kata yang sering kita dengar, atau mungkin kita ucapkan. Akibatnya kita cenderung apatis dan cuek terhadap penderitaan dan kesulitan orang lain.
Dari kisah janda Sarfat, kita belajar bahwa justru dengan kesediaan hati untuk berbagi kehidupan, bahkan berani beriman pada titik kritis hidupnya, disaat itulah mukjizat Allah terjadi. Pertolongan, penyertaan, dan berkat jasmani-Nya mengalir setiap hari, dengan cukup. Dalam kasih karunia-Nya, kesulitan hidup justru menjadi momentum untuk berbagi dan berbuat baik kepada sesama. Kalau toh hidup kita tinggal sesaat saja, marilah kita berupaya berbagi kehidupan untuk sesama, agar kematian kita menjadi kematian yang bermakna. Amin

Sunday, July 1, 2012

Belajar dari Yosua


(Yosua 1:1-9)

Dalam hidup ini, kita memerlukan tokoh. Tokoh yang bisa menjadi patron dan ikon. Patron berbicara mengenai pola atau sistem yang pas dengan konteks dan kebutuhan, sementara ikon berbicara mengenai representasi gambar dari pribadi yang ideal dan fungsional. Alkitab banyak menceritakan tokoh yang bisa menjadi patron dan ikon bagi hidup kita. Ketokohan itu senantiasa membangun nilai-nilai karakter yang tak akan lekang oleh perubahan zaman. Pribadi-pribadi yang berkarakter akan menjadi tokoh di sepanjang zaman. Membangun karakter dalam keluarga juga memerlukan tokoh. Pengajaran normatif harus tervisualisasikan dalam bentuk ketokohan dan keteladanan yang konkret.
Sebagaimana layaknya orang muda yang belum banyak makan asam garam pengalaman hidup, tentulah Yosua ragu saat dia harus menggantikan kepemimpinan Musa. Betapa tidak, Musa itu tokoh besar yang kharismanya tidak terbandingkan. Lalu apa yang dilakukan Yosua?
Pertama, Yosua sebagai orang muda menempatkan gambar patron hidupnya pada keteladanan Musa dan pada janji Allah. Inilah pentingnya keteladanan Musa bagi hidupnya. Kedua, Yosua sebagai anak muda juga punya kekuatan yang berbeda dengan Musa. Yosua mengembangkan kekuatan visionernya. Ketiga, Yosua juga perencana yang cermat. KeempatYosua bekerja dengan orang yang tepat. Kelima, Yosua membangun hidup keluarganya sebagai keluarga yang takut akan Tuhan dan beribadah kepada-Nya.
Inilah yang bisa kita pelajari dari patron dan ikon tokoh Yosua. Ia bukan bertindak dalam kehebatan pribadinya melainkan ia bergerak dalam kuasa rencana dan pimpinan Allah. Sebagaimana nama Yosua berarti Allah yang menyelamatkan, kisah Yosua juga mencerminkan gambar (ikon) Allah yang menyelamatkan kita dan keluarga kita. Kisah Yosua tidak hanya berbicara mengenai penyelamatan Allah atas bangsa Israel, namun juga kisah penyelamatan Allah atas keluarga. Mari kita membangun hidup kita dan keluarga kita dengan : mencari desain Allah atas keluarga kita, dan berani untuk hidup ikhlas dan setia menjalani peran-peran yang Tuhan berikan kepada kita. Maka sungguh perjalanan hidup kita dan keluarga akan dibuat Tuhan berhasil dan beruntung. Tuhan memberkati!