Sunday, July 8, 2012

Belajar Berbagi Kehidupan dari Janda Sarfat


(1Raja-raja 17:7-24)

Kita dapat membayangkan betapa tidak mudahnya kehidupan janda Sarfat pada waktu itu. Ia hidup  dalam situasi yang sulit, kekeringan, sementara bahan makanannya sudah tinggal penghabisan untuk dimakan terakhir kalinya. Di titik kritis inilah janda Sarfat bertemu dengan Nabi Elia, yang mungkin belum dikenalinya sebagai abdi Allah. Nabi Elia meminta darinya tidak sekadar minum, tapi juga roti, padahal bahan untuk membuat roti hanya cukup untuk dirinya dan anaknya saja, cukup untuk sekali makan dan kemudian mati (ay 12).
Janda tersebut tetap memiliki hati yang berbelas kasihan dan mau menolong nabi Elia yang kelaparan. Dengan penuh iman diberikannya makanan buatnya untuk sang nabi. Dengan imannya perempuan ini mau menukar hal yang pasti (bahan makanan yang terukur hanya cukup untuk sekali makan) dengan hal yang tidak kelihatan (firman Tuhan yang disampaikan Nabi Elia, yang belum terjadi).Sebuah tindakan iman.
Janda Sarfat menaruh kepercayaannya hanya pada janji firman Allah. Sebuah ketangguhan hidup yang luar biasa. Barangkali janda tersebut bisa berpikir, kalau toh aku dan anakku harus mati karena kelaparan ini, tapi toh di hari terakhirku aku mau memberikan makananku agar Nabi Elia tidak mati. Seperti cinta seorang ibu yang rela berkorban demi kesuksesan anaknya. Seorang yang kalau harus mati, namun mati dengan penuh makna, karena bermanfaat bagi sesama.
Ketangguhan dan iman janda tersebut membuatnya mendapatkan makanan untuk beberapa waktu lamanya. Artinya, ia mendapatkan makanan setiap hari. Tiap-tiap hari tepung segenggam di tempayan dan sedikit minyak di buli-buli senantiasa ada untuknya membuat makanan hari demi hari. Tuhan menjawab kebutuhan dan kesusahan janda Sarfat ini. Mukjizat terjadi setiap hari, dimulai dari kesediaan hati janda Sarfat berbagi “kehidupan” lewat segenggam tepung dan sedikit minyak, dan keberaniannya beriman kepada janji pertolongan Allah melalui seorang abdi Allah.
Bagaimana dengan kesulitan hidup yang kita alami dalam kehidupan keluarga kita? Seringkali kita  menempatkan diri kita sebagai orang yang membutuhkan pertolongan. Saat kesulitan hidup mendera, pikiran kita hanya sibuk untuk memikirkan kesulitan diri kita sendiri. Tidak ada tempat bagi sesama kita, apalagi sesama yang kekurangan dan butuh uluran tangan kita. Hidup sendiri saja susah,boroboro memikirkan orang lain. Barangkali ini kata-kata yang sering kita dengar, atau mungkin kita ucapkan. Akibatnya kita cenderung apatis dan cuek terhadap penderitaan dan kesulitan orang lain.
Dari kisah janda Sarfat, kita belajar bahwa justru dengan kesediaan hati untuk berbagi kehidupan, bahkan berani beriman pada titik kritis hidupnya, disaat itulah mukjizat Allah terjadi. Pertolongan, penyertaan, dan berkat jasmani-Nya mengalir setiap hari, dengan cukup. Dalam kasih karunia-Nya, kesulitan hidup justru menjadi momentum untuk berbagi dan berbuat baik kepada sesama. Kalau toh hidup kita tinggal sesaat saja, marilah kita berupaya berbagi kehidupan untuk sesama, agar kematian kita menjadi kematian yang bermakna. Amin