Sunday, July 7, 2013

Menghayati Kesetaraan, Merayakan Perbedaan

(Galatia 3:26-28; 1 Kor 12: 12-26)

Karya ilahi bersifat liberatif, membebaskan. Pembebasan itu terjadi menurut prinsip-prinsip tertentu. Dua di antaranya adalah sekeping mata uang dengan dua sisi. Sisi yang satu adalah kesetaraan, dan sisi yang lain keanekaragaman. Karya liberatif  ilahi mengukuhkan harkat dan martabat manusia. Ia menolak diskriminasi, entah berdasarkan ras, status sosial, atau gender. Karya liberatif ilahi juga mengukuhkan keanekaragaman. Ia menegaskan bahwa tiap-tiap orang unik, tidak tergantikan. Ia menandaskan bahwa tiap-tiap orang bisa memberikan sumbangsih yang khas bagi kehidupan bersama. Ia menggarisbawahi bahwa tiap-tiap orang memiliki kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ia mengajak tiap-tiap orang untuk saling mengisi, saling menguatkan. Ia mengajak tiap-tiap orang untuk bekerjasama, bahu-membahu dalam membangun gereja – komunitas mereka.
Ibarat sekeping mata uang, kesetaraan tidak boleh tanpa keanekaragaman. Demikian juga sebaliknya. Kesetaraan tanpa keanekaragaman berarti penyeragaman. Bila terjadi penyeragaman, yang hidup adalah penindasan. Suatu hal yang justru ingin diakhiri oleh karya liberatif ilahi. Sebaliknya, keanekaragaman tanpa kesetaraan berarti stratifikasi, penciptaan lapisan-lapisan bahkan kelas-kelas di dalam jemaat. Ada kelas yang memerintah, ada kelas yang diperintah. Ada kelas yang berkuasa, ada kelas yang dikuasai. Ada yang harus diutamakan, ada yang boleh dikesampingkan. Ada yang harus dihormati setinggi langit, ada yang boleh dipandang sebelah mata. Ini pun ingin diakhiri oleh karya liberatif ilahi.
Ibarat dua sisi dari sekeping mata uang, kita terpanggil untuk menghidupi kesetaraan dalam keanekaragaman dan keanekaragaman dalam kesetaraan. Itulah menghayati kesetaraan dan merayakan keanekaragaman. Setara berarti memiliki harkat dan martabat yang sama. Sama-sama anak Allah, seorang dengan yang lain adalah saudara di dalam Tuhan. Tiap-tiap anggota keluarga adalah berharga, layak atas kasih sayang, komitmen dan kesetiaan, penghormatan, dan perhatian – seorang dengan yang lain.   Bahkan dalam pelaksanaan peran-peran tersebut anggota-anggota keluarga terpanggil untuk saling membantu, mendukung, menguatkan, dan bahu-membahu. Dengan sharing, saling menerima kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan kekurangan seorang dengan yang lain, saling mengapresiasi bakat, karunia, dan pencapaian-pencapaian, mengembangkan rasa saling pengertian dan percaya, saling mendoakan, hadir sebagai sahabat dan saling menghiburkan,  saling menasihati, dan sebagainya. (almanak Sinode).