Sunday, July 28, 2013

Pengampunan: Keadilan Yang Memulihkan

(Kejadian 33:1-9)

Rangkaian kisah yang panjang setelah Yakub, dengan dibantu oleh Ribka, memperdayai Ishak dan Esau. Menarik untuk memperhatikan bahwa Ribka sebenarnya berjanji akan mengirim pesan kepada Yakub jika Esau sudah tidak lagi marah kepadanya (Kej 27:45), tapi  ternyata tidak pernah mengirim pesan kepada Yakub.  Itu sebabnya bisa dimengerti jika Yakub berasumsi bahwa Esau masih tetap marah kepadanya meskipun 20 tahun telah berlalu.  Itu pula sebabnya Yakub bukan saja memberi banyak hadiah kepada Esau dengan maksud untuk meredakan amarah Esau, tetapi ia juga berlutut merendahkan dirinya sendiri di hadapan Esau karena ia takut jika Esau marah dan membalas dendam pada dirinya. Namun apa yang terjadi dalam kisah kita ini benar-benar membuat Yakub tercengang-cengang.  Esau justru berlari mendapati Yakub bukan untuk melukai atau membunuhnya sebagai pelampiasan dendamnya, melainkan untuk merangkul, berekonsiliasi dan memberkatinya.  Esau tampil dalam kisah ini bukan sebagai seorang musuh, melainkan sebagai seorang sahabat dan saudara yang mengampuni.  Sikap Esau terhadap Yakub ini mengingatkan kita pada sikap sang bapa dalam Injil Lukas 15:11-32 yang berlari-lari menyambut kedatangan anak bungsunya yang durhaka, dan telah pergi meninggalkan dirinya, tapi kini pulang kembali ke rumah.
Konflik adalah sebuah keniscayaan.  Di manapun juga kita berada, kapanpun juga, serta dengan siapapun juga kita berhubungan, konflik senantiasa bisa terjadi. Suka atau tidak suka, konflik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita.  Topik masalah yang membuat para anggota keluarga terlibat dalam konflik bisa beragam bentuknya, tapi di balik semua masalah itu selalu ada persoalan relasi.  Jadi kalau sampai ada anggota-anggota keluarga yang terlibat dalam konflik berkepanjangan di antara mereka, maka persoalan utamanya pasti terletak pada buruknya relasi yang ada, bukan pada besar-kecilnya masalah.  Relasi itulah yang seharusnya menjadi fokus perhatian kita.
Setelah seseorang terluka, maka biasanya ia akan menarik diri secara fisik (menghindar dari orang yang melukainya), secara emosional (merenungkan apa yang terjadi), atau keduanya. Di sinilah dibutuhkan kesediaan para anggota keluarga yang terlibat dalam konflik untuk mengambil keputusan melakukan rekonsiliasi, dan tidak membiarkan situasi keterlukaan itu tetap berlangsung. Namun rekonsiliasi tidak pernah akan terwujud jika tidak didasari dan didahului oleh pengampunan. Hubungan sebab-akibat antara pengampunan dan rekonsiliasi tidak bisa dibalik. Pengampunan harus selalu terjadi terlebih dahulu sebelum rekonsiliasi bisa dilakukan.